Wednesday, August 17, 2005

++ list dvd musik

artis [album] -- harga

Acid Bath [Double Live Bootleg] -- 200,000
Artrosis [Live In Krakow] -- 70,000
Beck [Guero] -- 70,000
Bob Marley [Heartland Reggae (1978)] -- 300,000
Bob Marley and the Wailers [The Legend Live] -- 300,000
Chemical Brothers [Singles 93-03 (2003)] -- 70,000
David Bowie [Reality Tour] -- 70,000
Dj Shadow [In Tune and On Time] -- 90,000
Duran Duran [Live At Wembley] -- 70,000
Everlast [Sex and Rock N' Roll] -- 70,000
Gene [Live 2004] -- 70,000
Goo Goo Dolls [Live in Buffalo] -- 70,000
Good Charlotte [Live Brixton Academy] -- 70,000
Hoobastank [Let It Out] -- 70,000
Inside Rainbow [1979-1997 Critical Rev] -- 200,000
Jet [Family Style] -- 70,000
Kelly Osbourne [Live In London] -- 70,000
KMFDM [Storm & Drang Tour] -- 70,000
L'Arc-en-Ciel [Live in USA] -- 70,000
Manic Street Preachers [Leaving 20th Century] -- 70,000
Marilyn Manson [Live Rock AM Ring 2003 Rockpalast] -- 70,000
Massive Attack [Eleven Promos (2002)] -- 215,000
Moby [Play] -- 70,000
Motley Crue [Greatest Hits Video] -- 70,000
My Dying Bride [For Darkest Eyes] -- 190,000
New Order [511] -- 70,000
Opeth [Lamentations (Live at Shepherd's Bush Empire 2003)] -- 70,000
Overkill [Live] -- 70,000

Pantera[Vulgar Video From Hell] -- 70,000
Paradise Lost [Evolve] -- 70,000
Pet Shop Boy [Performance] -- 70,000
Placebo [Once More With Feeling - Videos 1996-2004] -- 70,000
Placebo [Soulmates Never Die - Live in Paris 2003] -- 70,000
Portishead [Portishead - Roseland New York (1998)] -- 70,000
Rammstein [Live Aus Berlin] -- 80,000
Sonic Youth [Corporate Ghost: Videos, 1990-2002] -- 70,000
Stone Roses [Stone Roses] -- 90,000
The Calling [Live In Italy] -- 70,000
The Jimi Hendrix Experience [Electric Ladyland] -- 280,000
The Pogues [Live] -- 70,000
The Verve [This Is Music: The Singles 92-98] -- 70,000
The Who [Live at the Royal Albert Hall (2000)] -- 215,000
Type O Negative [After Dark (1998)] -- 70,000
U2 [Best of 1999-2000] -- 70,000
Underworld Live [Everything Everything (2000)] -- 70,000
Van Halen [Live Without A Net] -- 200,000
Water Logged [Surf Video] -- 190,000
Yes [Symphonic Live (2002)] -- 70,000
808 State Optik Buk -- 265,000
Heavy Rock Masterpieces -- 200,000
Rebel Music - The Bob Marley Story (2001) -- 300,000
Scisor sisters -- 70,000

Saturday, December 04, 2004

pertanyaan pernyataan

- arti nama omuniuum
ngga' ada

- ide awal dan sejarah pendirian
++ awalnya karena sering nangkring disuatu warnet trus yang punya warnet mau pindah trus tempatnya ditawarin sama kita. trus setelah rundingan selama 8 menit, kita sepakat untuk ngambil tempat itu dan bikin sesuatu. karena yang punya ide banyak akhirnya jadilah tokobuku, clothing dan record shop sekaligus jadi satu. pengerjaan tempatnya dilakukan sama ELEMENT Architect Corp. trus mulai dibikin februari 2002 sampai akhirnya launching pada tanggal 13 juli 2002.
sejak november 2004 ini, karena toko makin penuh sesak akhirnya clothing kita yang punya nama god.inc punya bagian sendiri alias toko sendiri dengan nama god.inc-omuniuum dan tempatnya hanya berjarak beberapa meter saja alias masih satu rumah dengan omuniuum yang lama.

- sebetulnya ownernya itu siapa sih ?
++ ada beberapa orang. jadi kalo mau ketemu ownernya ke toko aja. mungkin tiap ke toko, ownernya bedabeda.

- kalo ownernya banyak, pembagian keuntungannya gimana ?
++ tergantung yang punya atau yang ngurus barang aja. kalo kewajiban owner itu kita ada, yaitu membayar sewa dan biaya operasional. tapi kalo keuntungan itu tergantung banget sama pengelolaan barang masingmasing pemilik barang. jadi sebetulnya omu itu lebih ke sebuah tempat yang disediakan untuk bekerja. kerjaannya masingmasing, tempatnya bareng.

- bagaimana dengan pemilihan lokasinya
++ dapetnya disini, ngga' milih...jadi bingung nih jawabnya..

- tujuan pendirian
++ punya ruangan yang oke buat santai sambil menjalankan hobi sambil cari duit.

- promosi awal seperti apa
++ promosinya dari mulut ke mulut aja..

- siapa saja pelanggannya
++ banyak. mulai dari anak smp sampai bapakbapak yang tuatua gitu deh.

- barang yang dijual
++ buku, mulai dari komik asterix sampai chicklit. mulai dari lima sekawan sampai umar kayam.
++ cdcd dan piringan hitam
++ poster impor
++ clothing lokal dan impor. label lokal yang ada di omuniuum diantaranya god.inc, sanctified, denominate, nutshell dll. untuk kaos impor kita ada merchandise band kayak pearljam, nin, perfect circle, smashing [kalo ngga' keabisan].
++ aksesoris, gelang, cincin, kalung, ikat pinggang, tas, dll.

- punya katalog ?
++ ngga'. tapi punya blog.

- kenapa harga barangnya suka mahal?
++ untuk buku, itu tergantung kita dapet berapa [untuk yang second]. pengennya sih murah. tapi ya itu, tergantung kita dapetnya mahal atau ngga' dan jadinya memang untunguntungan. mungkin ada yang pernah beli satu buku judulnya apa dia belinya mahal tapi pas ke toko lagi ada judul yang sama dengan harga lebih murah. yang kedua alasannya lebih ke personal atau nilai value satu barang. kalo huntingnya susah, harganya pasti lebih mahal.
++ untuk barang yang lain terutama poster, cd sama t'shirt, itu karena ongkos impor yang memang suka ngga' jelas. daripada kita jual murah tapi ngga' bisa lagi masukin barang atau mempertimbangkan ongkos kirim barang yang tidak pernah tetap akhirnya kita bikin standar sendiri untuk ukuran harga. piringan hitam juga gitu kecuali untuk yang bandband tertentu, itu memang value kita sama koleksinya yang tidak bisa dihitung.

- kenapa suka ada barang yang ngga' dijual ?
++ namanya juga hobi. selalu aja ada barang yang tibatiba merasa sulit untuk dilepaskan.

- bagaimana tanggapan orang2 terhadap toko ini
++ bagaimana tanggapan anda sama toko ini ?

- harapan untuk masa yang akan datang
++ ngga' punya. soalnya kalo berharap nanti kerjaannnya ngelamun terus. mendingan dikerjain aja baru lihat hasilnya, bagus atau ngga'.

Wednesday, December 01, 2004

Kisah Seru Memburu Buku

Teman-teman milis, ada yang tahu nggak di mana bisa beli bukunya Marah Rusli? Tolong japri ya, thanks!

Hai, ada yang punya bukunya Enid Blyton, Album Cerita Ternama, komiknya RA Kosasih? Saya mau beli. Atau kalau ada yang tahu di mana belinya, tolong kasih tahu ya. Thanks!***
Para peserta mailing list seputar dunia perbukuan tentu tidak asing dengan posting-posting seperti di atas. Belakangan ini dunia perbukuan di Indonesia memang menggeliat bangkit dan semakin banyak pembaca yang meningkat menjadi kolektor. Berbagai jenis buku yang dikoleksi, mulai dari komik seperti Tintin dan Asterix sampai buku-buku dengan topik yang lebih berat seperti sastra, kebudayaan, antropologi, sejarah, seni, filsafat, dan sebagainya. Buku-buku koleksi ini pun tidak mutlak harus berbahasa Indonesia.
”Yang paling sering dicari itu buku-buku bahasa Inggris yang second. Topiknya bisa kontemporer maupun klasik, misalnya karya Salman Rushdie, Jane Austen, Arundhati Roy, Martin Amis, Virginia Woolf, dan sebagainya,” cerita Iit, salah satu pemilik toko buku alternatif Omuniuum di Jalan Sultan Agung, Bandung. Selain buku-buku itu, menurut Iit buku-buku bekas karya pengarang Indonesia seperti Y.B. Mangunwijaya, NH Dini, dan Mochtar Lubis juga ramai dicari.
Mungkin ada beberapa sebab buku-buku ”tua” ini banyak dicari. Harga tentu berpengaruh. Buku-buku second ini terkadang bisa diperoleh dengan harga lebih murah daripada buku baru. Bagi kolektor yang mengincar buku berseri, harga yang lebih murah ini tentu sangat membantu. Sementara bagi kolektor sejati yang tidak mementingkan harga, nilai sejarah buku mungkin lebih penting. ”Semerbak Bunga Bandung Raya, buku tentang Bandung zaman baheula itu pernah kita jual Rp 350.000,” kata Iit menceritakan salah satu buku paling mahal yang pernah dijualnya. Buku yang disebut jelas merupakan buku colector’s item yang sulit diperoleh.
Nostalgia masa kecil mungkin faktor lain yang membuat upaya mengoleksi buku menjadi marak lagi. Komik seperti Arad dan Maya, Smurf, Tintin, Asterix, Tanguy dan Laverdure ternyata banyak dipesan pelanggan Omuniuum. Selain itu buku yang dibaca anak-anak di tahun 1970-1980-an seperti Lima Sekawan, Trio Detektif, Stop, dan Laura Ingalls juga sering diminati pembeli toko buku kecil yang terletak di depan SMU Aloysius Bandung ini.
Faktor nostalgia ini juga salah satu yang membuat Joga Wisaksono menjadi kolektor. ”Dulu waktu kecil kan pernah punya lengkap, lalu hilang. Sekarang teringat dan ingin baca lagi,” kata pria yang masih berusaha melengkapi Tintin, Trio Detektif, Lima Sekawan, dan novel-novel Mario Puzo-nya ini. Untuk buku-buku lama yang tidak dicetak ulang Joga memilih mencari ke toko-toko kecil dan toko-toko buku bekas, misalnya di Pasar Festival Kuningan, Jatinegara, atau di Glodok. Atau merambah ke pameran buku. ”Kalau pameran yang dikejar kan potongan harganya,” tutur Joga.
Joga juga mengoleksi buku-buku tentang musik. Selama ini untuk melengkapi koleksi buku musiknya Joga sering menitip beli kepada teman atau kerabat yang pergi ke luar negeri. ”Saya suka buku yang berhubungan dengan musik, terutama tentang musik rock tahun 1970-an seperti The Beatles, Led Zeppelin, Pink Floyd. Saya ingin tahu bagaimana proses penciptaan lagu dan sejarah band-band tersebut,” cerita pemuda yang mengutamakan membeli buku yang tidak dicetak ulang lagi itu.

Cara Merawat Koleksi
Mengoleksi buku di Indonesia yang beriklim panas dan lembap merupakan tantangan tersendiri. Buku cepat berjamur dan kertas juga cepat menguning. Selain itu ternyata kualitas kertas yang ada di Indonesia juga kurang baik karena banyak mengandung bahan liqin.
Kolektor harus menyediakan ruangan yang ventilasinya baik untuk menyimpan koleksinya. Selain itu dia juga harus sering membersihkan debu, bahkan menyediakan silica gel untuk menyerap kelembapan yang bisa merusak koleksinya.
”Kalau bisa buku yang sudah agak tua disimpan di rak kaca biar tidak terlalu berdebu. Selain itu juga harus diangin-angin sekitar dua minggu sekali, sekalian diperiksa ada rayap atau tidak. Kalau ada halaman yang robek, sambung dengan selotip khusus yang tipis seperti kertas roti. Halaman yang lepas bisa dilem dengan lem kayu, jangan disambung dengan selotip karena bisa merusak buku. Untuk sampul buku dari kain, biasanya ada bercak putih atau cokelat karena jamur, bersihkan dengan penghapus pensil,” papar Iit membagi tipsnya merawat koleksi buku.
Jadi bagaimana? Berani ikut jadi kolektor buku?

[Donna Widjajanto, penulis lepas dan kolektor buku, tinggal di Jakarta, dimuat di sinar harapan, 2003]

1st interview

suatu kesempatan lagi saya dapat berbincangbincang dengan vokalis band 'mega' dari Bandung ini tentang kegiatan mereka yang terbaru.. Tentang sebuah toko, ditengah kota Bandung yang cukup kita bisa bedakan dari toko yang ada. Toko ini dibandung sejak bulan Februari 2002, dan baru mulai beroperasi pada awal juni 2002. dibawah ini adalah wawancara dengan pemilik toko yaitu J.A.V [otong] lebih dikenal sebagai vokalis band bernama KOIL dan F.X.Adam yang juga vokalis/gitarisnya Kubik. Sayangnya adam sibuk dengan konsumen di toko jadi ngobrolnya dilayanin sama Otong doang. Kesannya kayak Dik Doang gini, keduanya adalah bos bos dari perusahaan rekaman mereka yang bertitel apocalypse rekords yang merilis bandband seperti Koil, Silent Sun,....hm...sudah, cuman segitu. Selama interview saya tidak dapat berbuat banyak atau lebih berimprovisasi dalam pertanyaan karena lantunan bicara otong selalu membuat saya terkesim, ya seperti kita melihat dia di panggung saja, Otong selalu berwibawa, membuat saya agak sedikit segan...dan benar apa kata cewekcewek tentang 'goodlooking'nya.. jadi membuat saya agak resah..yang akhirnya saya hanya dapat mengeluarkan pertanyaanpertanyaan biasa saja, tapi semua obrolan berjalan seru dan ketika saya lihat tokonya memang mereka telah membuat pekerjaan yang menarik. BY BENGSUE PHOTOGRAPHED BY JASON

R> ripple
O> omuniuum/otong

R: tolong ceritakan tentang ide awal omuniuum
O: awalnya.. ya awalnya ini kan ada duit hasil dari penjualan ambum koil yang megaloblast kemaren, ngga' banyak sih, tadinya mau gw pake buat judi, cuman si adam kan bukan orang yang seneng judi, gua juga ngga' ngerti padahal dia itu kan orang cungkuo tapi ngga' suka judi, dasar cina palsu, jadi dia inginnya punya toko musik gituan lah, jadi gua mikir gimana supaya toko ini bisa agakagak beguna gitu buat gua pribadi, soalnya gua ngga' ngerti sama sekali tentang persoalan ekonomi dan
manajemen, jadi setelah rembukan dengan anakanak yang laen selama sekitar 8 menit kita sepakat untuk bikin toserba yang berbau musik dan ilmu pengetahuan.
gua sih ya cuman ada ide buat bikin ruangan yang enak aja buat dengerin lagu sambil ngerokok sama minumminum, kan gua overdose sama musik dan gak terlalu tau tentang ilmu pengetahuan dan tetek bengeknya githu lhoo...
kita butuh waktu 3 bulanan buat beresin semuanya, pengerjaannya semua diberesin sama tementemen homo gua di.. eh yang homo itu mereka, gua sih cuma temenan, ngga' ada hubungan khusus. mereka namanya ELEMENT Architect Corp. semua rancangan kayu, listrik, soundsystem meraka yang urusin, kita sih
nimbrungnimbrung aja sok tau dikitdikit sambil nononton bokep, sementara itu anakanak arsitek membantingtulang semi sesuap es cendol bubble ngentot tea itu lhooo.

R: mengapa mengkhususkan jadi toko buku dan piringan hitam ?
O: sebetulnya ngga' sih kalo soal ph, kalo buku memang dari awal salah satu pemegang saham gedenya maunya dia bikin toko buku namanya si itbo, gua gak tau siapa nama benernya, dia kan orangnya ngerti banyak soal perbukuan dan tetek bengeknya, sama lah
kayak si adam, kalo gua sih ya karena buku itu sangat berguna buat peredam ruangan jadi ya gua sih okeoke aja, jadi buat yang seneng baca buku bisa dateng ke toko bacabaca sambil dengerin lagu apa gitu, daripada ke perpustakaan kan suasananya
hening ngga' jelas gitu, bawaannya mesum. kalo di toko kita kan bisa baca buku sambil diskodisko.
kalo soal ph [vynil] ya kebetulan barangbarang yang ada dalam jumlah banyak tinggal ph, gua dulu punya cd ribuan biki, cuman ya udah keburu dijual buat bikin megaloblast, sisanya sebagian besar ph, kan ph nya dipake buat sampling sekitar 5 tahun terakhir kita ngabisin waktu buat bikin loops dari koleksi ph ph ini, kayaknya ada sekitar 400-500 giga di beberapa hard disk, ya semuanya tinggal dipake, udah gitu ini ph nya ngga' tau mau diapain. jadi ya bagus juga kan buat inventory toko, ya siapa tau ada yang mau beli.

R: kenapa namanya omuniuum? apa artinya ?
O: ngga' tau, kayaknya sih ngga' ada artinya, we have no lies or truth in what we say, there is no meaning, really.

R: emangnya laku gitu, jualan ph sama buku?
O: emangnya kenapa gitu ? kalo ngga' laku juga ya kan kita di depan jualan nasi sama sayur, kalo itu nasi ngga' laku juga ya kita makan aja sendiri, da ngga' akan mati ini kalo ngga' laku juga, ya kalo mati itu sih nasib.

R: kirakira ada apa aja sih yang tersedia di toko ?
O: kalo buku ya kebanyakan seleranya si itbo, kayak karangan tolkien, irvine welsh, pramoedya, mangun wijaya, sapardi sama mungkin literature musik, ya banyak juga sih, gua ngga' terlalu hapal, itu seingetnya aja soalnya nama pengarangnya gede gitu, gampang kebaca dari jauh, gua kan bukan pembaca buku, yang pasti sih kayak enny arrow juga ada.

[ripple magazine #13, juli 2002]

15 juni 2003

Kami Lebih Baik dan Lebih Pintar...

THE Milo? Ini bukan merek minuman, tetapi nama band dari Bandung, Jawa Barat. Menjelang tengah malam pada hari Minggu (8/6), The Milo tampil di The Cellar Cafe and Lounge, Bandung. The Milo di pentas musik Indonesia memang belum setenar Dewa atau GIGI, namun mereka mempunyai penggemar fanatik di Bandung dan sekitarnya. Dara-dara remaja yang tampak menggandeng pasangannya berteriak-teriak menyambut lirik-lirik The Milo yang katanya puitis.

THE Milo malam itu sedang meluncurkan album mereka berjudul Let Me Begin yang diterbitkan M4AI atawa Music for Arassy Indonesia. Ini sebuah penerbit rekaman musik yang menyebut diri sebagai indie label-bahasa gampangnya adalah perusahaan rekaman "kecil-kecilan"- bukan label besar seperti Sony Music atau Musica, misalnya.

Begitulah The Milo seperti The band yang mewakili gerakan kaum muda yang bersemboyan "D.I.Y." Singkatan dari Do It Yourself-kerjakan sendiri-atau bahasa anak band "pokoknya hajar saja".

"Mereka adalah komunitas yang tidak tergantung pada pemodal atau perusahaan besar. Kalau mereka mau bikin album ya bikin saja sendiri. Kalau bikin majalah, kaset, kaos, pentas, ya bikin saja sendiri," kata Satrio, editor majalah Ripple yang menampung aktivitas kaum muda yang menyebut diri sebagai komunitas indie, dari kata independen, bebas tak tergantung orang lain.

The Milo dan band sejenisnya memang bukan gerakan perlawanan atau semacam counter culture. Mereka adalah kaum muda yang ingin mengerjakan sesuatu seperti yang mereka inginkan dengan cara semampunya.

The Milo tampil di pentas yang menyerupai balkon. The Cellar yang penataan ruangnya berbentuk tapal kuda dipadati puluhan anak muda. Mereka memadati dua lantai kafe. Bahkan halaman belakang kafe yang ditumbuhi pohon palma itu juga dijejali pengunjung meski mereka hanya lesehan. Begitu The Milo muncul, mereka menyambut riuh layaknya konser akbar dari band legendaris di gedung besar. Mereka bahkan telah mengenal lagu-lagu The Milo, terutama dari album Let Me Begin.

Itulah pemandangan sepintas komunitas musik anak muda Bandung. Band-band lokal mampu memasok kebutuhan hiburan orang-orang lokal. The Milo hanyalah salah satu dari kelompok musik kaum muda yang diperkirakan berjumlah ratusan. Mereka yang tumbuh subur di kota-kota besar Indonesia, terutama Bandung. Mereka dengan cara sendiri menggalang publik dengan tampil di berbagai kesempatan, mulai dari pesta seni sekolahan, di radio, sampai kafe. Mereka juga membuat album lewat penerbit album yang mereka sebut "indie label".

Apa pun itu, mereka menjadi salah satu indikator vitalitas kaum yang katakanlah mempunyai semacam spirit pembebasan. Paling tidak bebas memainkan musik seperti yang mereka suka. Bukan musik yang mereka anggap mapan, baku, atau mainstream, seperti yang dibuat oleh perusahaan mapan pula.

Band atau kelompok musik dengan semangat serupa The Milo telah bermunculan. Menyebut beberapa saja, terdapatlah nama-nama seperti Peterpan, Parasite, Porcelain, Purpose, Koil, Pure Saturday, Kanakita, Superman Is Dead, Lemon, After Sunset, The Jokes, Those Flowers, Mock Me Not, Disconnected, Mocca, Pas Band, T-Five, The Groove, Caffeine, dan Purpose. Daftar akan menjadi makin panjang jika band "senior" harus disebut seperti /Rif sampai Java Jive yang telah lebih sepuluh tahun dikenal di blantika musik Indonesia.

Usia personel mereka berkisar antara 20-28-ada beberapa kelompok yang tergolong senior yang berusia di atas rata-rata tersebut. Referensi dengaran mereka pun bervariasi, namun rata-rata itu mengacu pada band-band era MTV semisal Cold Play, Vertical Horizon, Radio Head, Greed, Cocteau Twins, The Sundays, Helmet, sampai band "indie" seperti My Bloody Valentine, sampai band-band indie Inggris atau Amerika yang tergolong jarang dikenal khalayak.

Ini agak berbeda dengan "pendahulu" mereka seperti Java Jive yang ketika awal terbentuknya di akhir 1980-an memainkan musik jenis Level 42 sampai Casiopea.

BANDUNG memang memanjakan kaum muda dalam bermusik. Tengoklah Kota Bandung di malam Minggu. Kawasan Dago, tempat nongkrong kaum muda kota kembang itu, setiap akhir pekan menjelma bagai pasar malam musik. Mulai pengamen, band pemula, sampai penyanyi Andhien yang dikawal gitaris Wayan Balawan serta pemain bas Indro Hardjodikoro tampil di Dago.

Sejumlah radio seperti Ardan, Oz, dan Ninetyniners membawa mobil siaran untuk menyiarkan langsung penampilan para musisi. Di depan Plaza Dago, tampil band pemula yang disiarkan langsung oleh radio Ninetyniners yang menggunakan Funky Mobile Too, sebuah perangkat siaran luar studio yang berupa mobil Mercy Turbo yang telah disulap menjadi studio berjalan.

Di luar Dago, hajatan musik terus terdengar hingga dini hari di kafe-kafe atau tempat hiburan lain. Fame Station, tempat hiburan yang terletak di lantai sebelas Gedung Lippo di bilangan Jalan Gatot Subroto, dipadati ratusan orang yang menikmati acara bernama "U-2 Night". Acara itu menampilkan band format all stars yang diambil dari personel beragam band, seperti Andy vokalis dari /Rif, Noey pemain bas dari Java Jive, sampai Kin gitaris The Fly, juga Didit pemain drum dari Protonema.

Pesta musik terus berlanjut pada Minggu (8/6) malam. Selain The Milo yang tampil di The Cellar, pada malam yang sama tampil band Koil di acara yang digelar SMU 20 di bilangan Citarum.

"Anak muda Bandung itu kalau bikin band, pasti inginnya tampil di kafe," kata Ariel, vokalis Peterpan saat ditemui di Musica Studio, Jakarta.

Dari acara serupa di Dago, pesta musik sekolahan sampai kafe itulah komunitas pemusik dan penikmat musik tumbuh. Itu bisa dilihat dari Fame Station, kafe, dan resto yang setiap malamnya bisa menampilkan band berbeda. Pada kesempatan itu, setiap band seperti mendatangkan massa masing-masing.

"Yang datang ke Fame Stations itu adalah mereka yang benar-benar penikmat musik. Band-band bebas main musik apa pun dan mereka sudah punya massa sendiri-sendiri," kata Noey, personel Java Jive yang mengenal karakter tempat hiburan di Bandung.

Menurut sejumlah awak band, Fame Station dianggap sebagai barometer penerimaan publik terhadap sebuah band. Makanya di kafe ini setiap hari paling tidak ada tiga band yang melakukan audisi untuk tampil. Dalam seminggu, sekitar 15 band ditampilkan oleh tempat hiburan tersebut.

Komunitas pemusik-penggemar itu telah membentuk semacam jaringan yang menampung aktivitas mereka. Katakanlah itu berupa infrastruktur yang mendukung kehidupan bermusik Kota Bandung. Band yang telah terasah kemampuan di kafe-kafe itu kemudian perlu merekam album. Sebelumnya mereka perlu membuat musik contoh atau album demo untuk disodorkan ke radio atau penerbit rekaman.

Radio-radio di Bandung juga menjadi salah tempat penyemaian band-band "indie" itu. Radio Ardan, Oz, atau Ninetyniners mempunyai acara semacam tangga lagu atau charts yang khusus menampung band indie. Band-band itu tinggal mengirim kaset atau CD ke radio dan mereka akan menyeleksi untuk kemudian menempatkan dalam daftar peringkat.

"Selain kafe-kafe, radio-radio itu menjadi salah satu denyut nadi yang bikin band-band indie hidup," kata Noey, pemetik bas Java Jive yang makan garam bermain musik di kafe dan kini sibuk memproduseri album band pendatang baru.

Radio Ardan yang berpangkalan di bilangan Cipaganti, setiap hari menerima dua atau tiga demo rekaman. "Ada yang mengirim CD sudah lengkap dengan sampul yang bagus-bagus. Tapi ada yang tanpa sampul. Ada yang sekadar ingin lagunya diputar di radio," kata Rizki Fajar Nugraha, produser acara di radio Ardan.

Pada setiap bulan akan dipilih "Artist of the Month", atau penampil terbaik yang sebulan sekali akan berhak tampil secara langsung pada Cyberstage. Ini adalah nama mobil siaran radio Ardan yang setiap malam minggu mangkal di kawasan Dago.

Lagu dari band Carousel termasuk salah satu yang pernah bertahan hingga 12 minggu di Ardan. Band ini masih menyasar hajatan seperti bazar, pentas seni kampus, atau sekolahan. Spirit mereka sebagai sebuah band memang luar biasa. Mereka membuat demo musik dengan cara merekam sendiri di rumah, tanpa perlu sewa studio. Mereka menggunakan komputer dengan perangkat lunak semisal Fruitty Loop untuk merekam albumnya.

Ninetyniners juga menyelenggarakan acara serupa setiap Minggu pukul 09.00-10.00. Hanya saja mereka cenderung memilih lagu yang funky, sesuai karakter radio bergelombang FM 99.9 itu. "Kami hadirkan acara untuk band-band indie untuk mendukung band Bandung," kata Kika Ferdind, music director radio tersebut.

Kebutuhan itu kemudian menumbuhkan studio rekaman. Untuk merekam dan mendistribusikan album, mereka perlu produser. Lalu muncullah label-label "indie". Tersebutlah indie label seperti Fast Forwards Records, Spills Records, Harder, Apacalypse Records, Distorsi, Riotic, atau juga M4AI-dibaca Music for Arassy Indonesia.

"Yang penting kami rilis musik yang kami suka dan menyebarkan musik itu ke orang lain. Rasanya puas," kata Achmad Marin, yang bersama dua rekannya, Helvi Sjarifuddin dan Didit, mendirikan Fast Forwards Records pada akhir 1999 dan merilis album Mocca yang banyak digemari kaum muda.

"Kita juga bagian dari industri. Yang membedakan kita dengan label major itu spirit bebas kita dan semangat pertemanan ada," kata Fiki dari M4AI Records yang merilis The Milo.

Ketika album telah di tangan, maka diperlukanlah tempat memasarkan produk. Band- band muda itu kemudian menitipkan album yang berupa kaset atau CD ke "distro"-begitu mereka menyebut, serupa toko kecil-di Bandung. Tersebutlah antara lain distro seperti Omuniuum, Anonim, Harder, Riotec, atau juga 347. Distro ini juga menjual pakaian termasuk kaos oblong sampai celana panjang, tas, papan selancar, sampai majalah khusus yang memuat aktivitas kaum muda itu.

Majalah yang kini banyak dijumpai di distro itu seperti Ripple atau Pause yang menampung band-band indie itu. Majalah Ripple nomor 18 terbitan Juni 2003 ini misalnya, menampilkan band cerita sampul Superman Is Dead. Termuat pula wawancara dengan band Balcony serta ulasan mengenai Mocca. Majalah yang terbit pada 1999 ini juga menyertakan lagu contoh dari band indie Balcony, Mock Me Not, dan Sajama Cut.

Ripple yang terbit bulanan kini bertiras sekitar 7.000 eksemplar dengan persebaran di Bandung, Jakarta, Surabaya, Malang, Yogyakarta, dan Medan.

"Kita angkat berita tentang komunitas indie dan disajikan secara fun-fun saja, enggak usah berat-berat," kata Satrio yang menjabat sebagai editor in chief majalah Ripple.

"Tataniaga" ala kaum wiraswastawan musik ini mulai teratur sejak sekitar dua tahun belakangan ini. Setidaknya ini menurut Aryo Verdijantoro, vokalis band Koil yang lebih dikenal dengan nama Otong. Lelaki berambut gimbal ini tahu benar pasar indie karena dia telah sepuluh terakhir ini bertahan hidup dengan bermain musik. Band yang dibentuk pada 1993 ini harus bersusah payah mengedarkan album sendiri.

Toko kecil Omuniuum di bilangan Sultan Agung, Bandung, itu menjual kaus Koil, aksesori penampilan termasuk sepatu boot, gelang kulit, sampai aksesori dengan duri-duri yang lazim dilingkarkan pada leher.

Dipajang juga piringan hitam, CD, VCD, DVD, sampai buku-buku. Bukan sembarangan buku memang yang dipajang di Omuniuum. Tersebutlah The Interpretation of Dream dari Sigmund Freud, Collected Shister Fiction dari Leo Tolstoy, Island of The Stream-nya Hemingway, sampai Tropic of Cancer dari Henry Miller. Ada juga Dan Damai di Bumi dari Karl May, sampai Lord of the Rings.

Di sebelah toko ada kafe di emperan. Pengusahanya tak lain dari awak Koil juga. Kafe inilah yang menjadi titik pertemuan anak band Bandung, termasuk komunitas penikmat musik mereka.

Band-band "indie" berikut komunitas penggemarnya itu boleh jadi mewakili wajah era yang telah bergeser. Kaum muda kelahiran seputar era 1980-an telah menemukan lahan bermainnya sendiri.

Baiklah kita kutip catatan dari editor majalah Ripple yang berkomentar soal generasi bersemangat indie itu. Jangan heran jika menjumpai kalimat berbahasa Inggris karena majalah ini sering mencampuradukkan ungkapan dalam bahasa asing. Keseharian kaum muda memang sering menggunakan bahasa Inggris, termasuk lirik lagu The Milo atau band serupa yang banyak menggunakan bahasa Inggris.

"Here we are now... Waktunya siap akan perkembangan dari apa yang kita lihat. Memang sekarang waktunya untuk membuat apa yang kita butuhkan. We are all smarter, better, than ten years ago. .... It’s time to open your mind!"-Kita lebih baik dan lebih pintar dari sepuluh tahun lalu. Ini saatnya untuk membuka pikiran..." Heroik euy!! [XAR, KOMPAS]


<<< back to omuniuum