Wednesday, December 01, 2004

15 juni 2003

Kami Lebih Baik dan Lebih Pintar...

THE Milo? Ini bukan merek minuman, tetapi nama band dari Bandung, Jawa Barat. Menjelang tengah malam pada hari Minggu (8/6), The Milo tampil di The Cellar Cafe and Lounge, Bandung. The Milo di pentas musik Indonesia memang belum setenar Dewa atau GIGI, namun mereka mempunyai penggemar fanatik di Bandung dan sekitarnya. Dara-dara remaja yang tampak menggandeng pasangannya berteriak-teriak menyambut lirik-lirik The Milo yang katanya puitis.

THE Milo malam itu sedang meluncurkan album mereka berjudul Let Me Begin yang diterbitkan M4AI atawa Music for Arassy Indonesia. Ini sebuah penerbit rekaman musik yang menyebut diri sebagai indie label-bahasa gampangnya adalah perusahaan rekaman "kecil-kecilan"- bukan label besar seperti Sony Music atau Musica, misalnya.

Begitulah The Milo seperti The band yang mewakili gerakan kaum muda yang bersemboyan "D.I.Y." Singkatan dari Do It Yourself-kerjakan sendiri-atau bahasa anak band "pokoknya hajar saja".

"Mereka adalah komunitas yang tidak tergantung pada pemodal atau perusahaan besar. Kalau mereka mau bikin album ya bikin saja sendiri. Kalau bikin majalah, kaset, kaos, pentas, ya bikin saja sendiri," kata Satrio, editor majalah Ripple yang menampung aktivitas kaum muda yang menyebut diri sebagai komunitas indie, dari kata independen, bebas tak tergantung orang lain.

The Milo dan band sejenisnya memang bukan gerakan perlawanan atau semacam counter culture. Mereka adalah kaum muda yang ingin mengerjakan sesuatu seperti yang mereka inginkan dengan cara semampunya.

The Milo tampil di pentas yang menyerupai balkon. The Cellar yang penataan ruangnya berbentuk tapal kuda dipadati puluhan anak muda. Mereka memadati dua lantai kafe. Bahkan halaman belakang kafe yang ditumbuhi pohon palma itu juga dijejali pengunjung meski mereka hanya lesehan. Begitu The Milo muncul, mereka menyambut riuh layaknya konser akbar dari band legendaris di gedung besar. Mereka bahkan telah mengenal lagu-lagu The Milo, terutama dari album Let Me Begin.

Itulah pemandangan sepintas komunitas musik anak muda Bandung. Band-band lokal mampu memasok kebutuhan hiburan orang-orang lokal. The Milo hanyalah salah satu dari kelompok musik kaum muda yang diperkirakan berjumlah ratusan. Mereka yang tumbuh subur di kota-kota besar Indonesia, terutama Bandung. Mereka dengan cara sendiri menggalang publik dengan tampil di berbagai kesempatan, mulai dari pesta seni sekolahan, di radio, sampai kafe. Mereka juga membuat album lewat penerbit album yang mereka sebut "indie label".

Apa pun itu, mereka menjadi salah satu indikator vitalitas kaum yang katakanlah mempunyai semacam spirit pembebasan. Paling tidak bebas memainkan musik seperti yang mereka suka. Bukan musik yang mereka anggap mapan, baku, atau mainstream, seperti yang dibuat oleh perusahaan mapan pula.

Band atau kelompok musik dengan semangat serupa The Milo telah bermunculan. Menyebut beberapa saja, terdapatlah nama-nama seperti Peterpan, Parasite, Porcelain, Purpose, Koil, Pure Saturday, Kanakita, Superman Is Dead, Lemon, After Sunset, The Jokes, Those Flowers, Mock Me Not, Disconnected, Mocca, Pas Band, T-Five, The Groove, Caffeine, dan Purpose. Daftar akan menjadi makin panjang jika band "senior" harus disebut seperti /Rif sampai Java Jive yang telah lebih sepuluh tahun dikenal di blantika musik Indonesia.

Usia personel mereka berkisar antara 20-28-ada beberapa kelompok yang tergolong senior yang berusia di atas rata-rata tersebut. Referensi dengaran mereka pun bervariasi, namun rata-rata itu mengacu pada band-band era MTV semisal Cold Play, Vertical Horizon, Radio Head, Greed, Cocteau Twins, The Sundays, Helmet, sampai band "indie" seperti My Bloody Valentine, sampai band-band indie Inggris atau Amerika yang tergolong jarang dikenal khalayak.

Ini agak berbeda dengan "pendahulu" mereka seperti Java Jive yang ketika awal terbentuknya di akhir 1980-an memainkan musik jenis Level 42 sampai Casiopea.

BANDUNG memang memanjakan kaum muda dalam bermusik. Tengoklah Kota Bandung di malam Minggu. Kawasan Dago, tempat nongkrong kaum muda kota kembang itu, setiap akhir pekan menjelma bagai pasar malam musik. Mulai pengamen, band pemula, sampai penyanyi Andhien yang dikawal gitaris Wayan Balawan serta pemain bas Indro Hardjodikoro tampil di Dago.

Sejumlah radio seperti Ardan, Oz, dan Ninetyniners membawa mobil siaran untuk menyiarkan langsung penampilan para musisi. Di depan Plaza Dago, tampil band pemula yang disiarkan langsung oleh radio Ninetyniners yang menggunakan Funky Mobile Too, sebuah perangkat siaran luar studio yang berupa mobil Mercy Turbo yang telah disulap menjadi studio berjalan.

Di luar Dago, hajatan musik terus terdengar hingga dini hari di kafe-kafe atau tempat hiburan lain. Fame Station, tempat hiburan yang terletak di lantai sebelas Gedung Lippo di bilangan Jalan Gatot Subroto, dipadati ratusan orang yang menikmati acara bernama "U-2 Night". Acara itu menampilkan band format all stars yang diambil dari personel beragam band, seperti Andy vokalis dari /Rif, Noey pemain bas dari Java Jive, sampai Kin gitaris The Fly, juga Didit pemain drum dari Protonema.

Pesta musik terus berlanjut pada Minggu (8/6) malam. Selain The Milo yang tampil di The Cellar, pada malam yang sama tampil band Koil di acara yang digelar SMU 20 di bilangan Citarum.

"Anak muda Bandung itu kalau bikin band, pasti inginnya tampil di kafe," kata Ariel, vokalis Peterpan saat ditemui di Musica Studio, Jakarta.

Dari acara serupa di Dago, pesta musik sekolahan sampai kafe itulah komunitas pemusik dan penikmat musik tumbuh. Itu bisa dilihat dari Fame Station, kafe, dan resto yang setiap malamnya bisa menampilkan band berbeda. Pada kesempatan itu, setiap band seperti mendatangkan massa masing-masing.

"Yang datang ke Fame Stations itu adalah mereka yang benar-benar penikmat musik. Band-band bebas main musik apa pun dan mereka sudah punya massa sendiri-sendiri," kata Noey, personel Java Jive yang mengenal karakter tempat hiburan di Bandung.

Menurut sejumlah awak band, Fame Station dianggap sebagai barometer penerimaan publik terhadap sebuah band. Makanya di kafe ini setiap hari paling tidak ada tiga band yang melakukan audisi untuk tampil. Dalam seminggu, sekitar 15 band ditampilkan oleh tempat hiburan tersebut.

Komunitas pemusik-penggemar itu telah membentuk semacam jaringan yang menampung aktivitas mereka. Katakanlah itu berupa infrastruktur yang mendukung kehidupan bermusik Kota Bandung. Band yang telah terasah kemampuan di kafe-kafe itu kemudian perlu merekam album. Sebelumnya mereka perlu membuat musik contoh atau album demo untuk disodorkan ke radio atau penerbit rekaman.

Radio-radio di Bandung juga menjadi salah tempat penyemaian band-band "indie" itu. Radio Ardan, Oz, atau Ninetyniners mempunyai acara semacam tangga lagu atau charts yang khusus menampung band indie. Band-band itu tinggal mengirim kaset atau CD ke radio dan mereka akan menyeleksi untuk kemudian menempatkan dalam daftar peringkat.

"Selain kafe-kafe, radio-radio itu menjadi salah satu denyut nadi yang bikin band-band indie hidup," kata Noey, pemetik bas Java Jive yang makan garam bermain musik di kafe dan kini sibuk memproduseri album band pendatang baru.

Radio Ardan yang berpangkalan di bilangan Cipaganti, setiap hari menerima dua atau tiga demo rekaman. "Ada yang mengirim CD sudah lengkap dengan sampul yang bagus-bagus. Tapi ada yang tanpa sampul. Ada yang sekadar ingin lagunya diputar di radio," kata Rizki Fajar Nugraha, produser acara di radio Ardan.

Pada setiap bulan akan dipilih "Artist of the Month", atau penampil terbaik yang sebulan sekali akan berhak tampil secara langsung pada Cyberstage. Ini adalah nama mobil siaran radio Ardan yang setiap malam minggu mangkal di kawasan Dago.

Lagu dari band Carousel termasuk salah satu yang pernah bertahan hingga 12 minggu di Ardan. Band ini masih menyasar hajatan seperti bazar, pentas seni kampus, atau sekolahan. Spirit mereka sebagai sebuah band memang luar biasa. Mereka membuat demo musik dengan cara merekam sendiri di rumah, tanpa perlu sewa studio. Mereka menggunakan komputer dengan perangkat lunak semisal Fruitty Loop untuk merekam albumnya.

Ninetyniners juga menyelenggarakan acara serupa setiap Minggu pukul 09.00-10.00. Hanya saja mereka cenderung memilih lagu yang funky, sesuai karakter radio bergelombang FM 99.9 itu. "Kami hadirkan acara untuk band-band indie untuk mendukung band Bandung," kata Kika Ferdind, music director radio tersebut.

Kebutuhan itu kemudian menumbuhkan studio rekaman. Untuk merekam dan mendistribusikan album, mereka perlu produser. Lalu muncullah label-label "indie". Tersebutlah indie label seperti Fast Forwards Records, Spills Records, Harder, Apacalypse Records, Distorsi, Riotic, atau juga M4AI-dibaca Music for Arassy Indonesia.

"Yang penting kami rilis musik yang kami suka dan menyebarkan musik itu ke orang lain. Rasanya puas," kata Achmad Marin, yang bersama dua rekannya, Helvi Sjarifuddin dan Didit, mendirikan Fast Forwards Records pada akhir 1999 dan merilis album Mocca yang banyak digemari kaum muda.

"Kita juga bagian dari industri. Yang membedakan kita dengan label major itu spirit bebas kita dan semangat pertemanan ada," kata Fiki dari M4AI Records yang merilis The Milo.

Ketika album telah di tangan, maka diperlukanlah tempat memasarkan produk. Band- band muda itu kemudian menitipkan album yang berupa kaset atau CD ke "distro"-begitu mereka menyebut, serupa toko kecil-di Bandung. Tersebutlah antara lain distro seperti Omuniuum, Anonim, Harder, Riotec, atau juga 347. Distro ini juga menjual pakaian termasuk kaos oblong sampai celana panjang, tas, papan selancar, sampai majalah khusus yang memuat aktivitas kaum muda itu.

Majalah yang kini banyak dijumpai di distro itu seperti Ripple atau Pause yang menampung band-band indie itu. Majalah Ripple nomor 18 terbitan Juni 2003 ini misalnya, menampilkan band cerita sampul Superman Is Dead. Termuat pula wawancara dengan band Balcony serta ulasan mengenai Mocca. Majalah yang terbit pada 1999 ini juga menyertakan lagu contoh dari band indie Balcony, Mock Me Not, dan Sajama Cut.

Ripple yang terbit bulanan kini bertiras sekitar 7.000 eksemplar dengan persebaran di Bandung, Jakarta, Surabaya, Malang, Yogyakarta, dan Medan.

"Kita angkat berita tentang komunitas indie dan disajikan secara fun-fun saja, enggak usah berat-berat," kata Satrio yang menjabat sebagai editor in chief majalah Ripple.

"Tataniaga" ala kaum wiraswastawan musik ini mulai teratur sejak sekitar dua tahun belakangan ini. Setidaknya ini menurut Aryo Verdijantoro, vokalis band Koil yang lebih dikenal dengan nama Otong. Lelaki berambut gimbal ini tahu benar pasar indie karena dia telah sepuluh terakhir ini bertahan hidup dengan bermain musik. Band yang dibentuk pada 1993 ini harus bersusah payah mengedarkan album sendiri.

Toko kecil Omuniuum di bilangan Sultan Agung, Bandung, itu menjual kaus Koil, aksesori penampilan termasuk sepatu boot, gelang kulit, sampai aksesori dengan duri-duri yang lazim dilingkarkan pada leher.

Dipajang juga piringan hitam, CD, VCD, DVD, sampai buku-buku. Bukan sembarangan buku memang yang dipajang di Omuniuum. Tersebutlah The Interpretation of Dream dari Sigmund Freud, Collected Shister Fiction dari Leo Tolstoy, Island of The Stream-nya Hemingway, sampai Tropic of Cancer dari Henry Miller. Ada juga Dan Damai di Bumi dari Karl May, sampai Lord of the Rings.

Di sebelah toko ada kafe di emperan. Pengusahanya tak lain dari awak Koil juga. Kafe inilah yang menjadi titik pertemuan anak band Bandung, termasuk komunitas penikmat musik mereka.

Band-band "indie" berikut komunitas penggemarnya itu boleh jadi mewakili wajah era yang telah bergeser. Kaum muda kelahiran seputar era 1980-an telah menemukan lahan bermainnya sendiri.

Baiklah kita kutip catatan dari editor majalah Ripple yang berkomentar soal generasi bersemangat indie itu. Jangan heran jika menjumpai kalimat berbahasa Inggris karena majalah ini sering mencampuradukkan ungkapan dalam bahasa asing. Keseharian kaum muda memang sering menggunakan bahasa Inggris, termasuk lirik lagu The Milo atau band serupa yang banyak menggunakan bahasa Inggris.

"Here we are now... Waktunya siap akan perkembangan dari apa yang kita lihat. Memang sekarang waktunya untuk membuat apa yang kita butuhkan. We are all smarter, better, than ten years ago. .... It’s time to open your mind!"-Kita lebih baik dan lebih pintar dari sepuluh tahun lalu. Ini saatnya untuk membuka pikiran..." Heroik euy!! [XAR, KOMPAS]


<<< back to omuniuum